Bincang Sekumpulan Puisi “Jenggirat!” Tengsoe Tjahjono

Malang,Teraskata.com – Acara bincang kumpulan puisi Tengsoe Tjahjono yang berjudul “Jenggirat!” di Unversitas Brawijaya Malang, tepatnya di Gedung Fakultas Ilmu Budaya berlangsung Rabu, (26/2) pukul 09.00 – 11.00 WIB.

Perbincangan yang dihadiri oleh Tengsoe tersebut cukup gayeng dan penuh keakraban. Dimoderatori oleh Muh. Fathoni Rohman M.Pd. Kemudian sebagai pembincang Prof. Dr. Djoko Saryono M.Pd dan Yusri Fajar sebagai pemantik.

Yusri Fajar, sastrawan asal Banyuwangi, Dosen FIB Universitas Brawijaya yang hadir dalam acara itu mengatakan, ada jalinan antara memori masa lalu, perjalanan, pesona alam, dan ragam budaya di dalam kumpulan puisi Tengsoe Tjahjono yang berjudul “Jenggirat!”.

Subjek dalam buku puisi Tengsoe Tjahjono merekonstruksi fragmen-fragmen berbagai kenangan zaman lampau di Banyuwangi yang berserakan dalam ingatannya. Konstruksi Memori kultural dengan menempatkan Tengsoe di tengah masyarakat bumi Blambangan, baik itu didalam keluarga, guru, saudara, teman, dan sahabat.

Yusri kemudian menjelaskan bahwa relasi komunal dan sangat banyak kejadian itu menegaskan memori kolektif, bahwa kenangan personal, sehingga terbentuk dalam kehidupan sosial.

“Pergerakan subjek untuk mengunjungi kembali kampung halamannya sekaligus mengamati berbagai perubahan masa kini menghasilkan estetika puisi naratif dan terkadar agak samar mencerminkan kritik atas kuasa materi dan keperkasaan teknologi yang hegemonik.” Ungkapnya

Ia melanjutkan, keindahan alam Banyuwangi oleh Tengsoe Tjahjono dirayakan dengan ekspresi-eskpresi puitik khas pastoral dan digunakan sebagai medium, untuk membangkitkan memori masa lalu, namun di sisi lain digambarkan berada dalam ancaman eksplotasi atas nama pembangunan dan komersialisasi. “Dan yang menarik, ada puisi yang menggambarkan gerak dan makna seni tradisional Banyuwangi dengan metafora-metafora keindahan alam mayapada ujung timur pulau Jawa.” Katanya.

Disampaikan oleh Yusri kalau bentangan dan tegangan antara masa lalu yang natural-tradisional dan masa kini yang modern dan kapitalistik terepresentasikan dalam puisi-puisi Tengsoe, yang menggambarkan kesenjangan pandangan antar generasi, dan posisi seni yang dianggap adiluhung di Banyuwangi dan seni yang dinilai modern dan populer.

Meskipun demikian, Tengsoe Tjahjono membingkainya dalam kesatuan puitik yang berdialektika antar bagian-bagiannya sehingga dapat menyajikan makna yang kaya, dalam, dan berlapis. Sebagai pembaca, Yusri mendapati Banyuwangi yang dinamis dan penuh inspirasi. Itu yang terjadi ketika memori, perjalanan diri, alam, dan budaya saat digali dan dimaknai secara puitis.

Membincangkan kitab puisi “Jenggirat!” karya Tengsoe Tjahjono, penyair yang memiliki ikatan batin dengan bumi Blambangan. ‘Jenggirat!’ menjadi titian Tengsoe dalam mengunjungi, mengingat, membayangkan, dan merekonstruksi Banyuwangi melalui puisi.

Sebagai pengarang yang menghabiskan masa kecil dan remaja di Banyuwangi dan kemudian menetap di kota Surabaya-Malang, Tengsoe menegaskan kota gandrung itu tak pernah beranjak dari kalbunya yang paling dalam.

“Dalam baris “Banyuwangi tak pernah pergi dariku”, “Selamat tinggal Banyuwangi–atau mungkin tidak. Karena aku tidak pernah benar-benar pergi”, hal ini telah menunjukkan sang persona yang bersemayam dalam ruang antara, meletakkan jiwa dalam negosiasi antara kampung halaman sejati dan kota urban tempatnya merajut harapan.” Pungkas Yusri (Met)

Komentar