May Day 2025 di Madiun, Momentum Penting Para Pekerja Suarakan Apirasi

Madiun,Teraskata.com – Hari Buruh Internasional atau May Day adalah momen perjuangan kelas—hari solidaritas global bagi kaum buruh yang selama berabad-abad menjadi korban penindasan, eksploitasi, dan ketidakadilan struktural.

Peringatan May Day 2025 berlangsung pada saat Indonesia mengalami l krisis yang terjadi di berbagai bidang kehidupan, seperti ekonomi, politik, sosial, dan hukum, yang secara bersama-sama menimbulkan dampak yang signifikan terhadap masyarakat dan negara (multi dimensi). Krisis multidimensi adalah krisis yang kompleks dan melibatkan berbagai sektor kehidupan yang saling terkait.

Krisis ini dapat terjadi akibat berbagai faktor, seperti masalah ekonomi yang parah, ketegangan politik, ketidakstabilan sosial, atau pelanggaran hukum yang merajalela.

” Peringatan May Day tahun ini berlangsung di tengah krisis multidimensi yang menimpa rakyat Indonesia, termasuk di wilayah Madiun,” jelas Aris Budiono Ketua Serikat Buruh Madiun Raya (SBMR). Kamis, (1/5/25).

Aris juga menyampaikan bahwa saat ini harga kebutuhan pokok melonjak drastis, sementara upah buruh, terutama buruh informal dan sektor jasa, masih banyak yang jauh di bawah Upah Minimum Kota (UMK). Relasi kerja kian tidak menentu. Informalisasi hubungan kerja membuat buruh tidak mendapatkan perlindungan hukum yang layak—tidak ada jaminan sosial, tidak ada kepastian kerja, dan tidak ada akses keadilan.

Kondisi saat inil gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus melanda. Dalihnya beragam: efisiensi, relokasi pabrik, pensiun dini paksa, hingga PHK sepihak terhadap pengurus dan anggota serikat buruh. Ribuan buruh dipaksa menelan pil pahit kehilangan pekerjaan tanpa kompensasi memadai, tanpa masa depan yang jelas. Mereka terlempar ke jalanan, tak hanya kehilangan penghasilan, tetapi juga martabat dan hak-haknya sebagai warga negara.

“Semua ini menunjukkan wajah kelam ekonomi kapitalisme cangkokan yang dijalankan oleh oligarki rente—sistem yang sarat dengan praktik pungli, premanisme birokrasi, dan ketergantungan pada investasi asing tanpa kedaulatan agraria dan industrialisasi nasional. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan dan amanat konstitusi yang menjanjikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Janji kemerdekaan itu kini hanya menjadi slogan kosong,” ungkapnya.

Sementara itu Aris juga mengatakan bahwa di bidang hukum dan politik, realitasnya tidak kalah suram. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Politik dikuasai transaksi gelap, pencitraan, dan pembodohan publik.

Bagi kaum buruh, hukum ketenagakerjaan hanya menjadi macan kertas yang tak bergigi. Pelanggaran hak buruh dibiarkan tanpa penindakan. Pengusaha melenggang bebas menginjak hak normatif, sementara Dinas Ketenagakerjaan hanya menjadi penonton pasif. Perselisihan kerja didorong masuk ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), yang dalam praktiknya seringkali menjadi kuburan keadilan bagi buruh kecil.

“Disini Buruh perempuan menghadapi beban yang lebih berat. Selain jam kerja panjang, sistem lembur paksa, dan skorsing sewenang-wenang, mereka juga menghadapi diskriminasi berbasis gender. Hak-hak reproduktif seperti cuti haid, hamil, dan melahirkan kerap diabaikan. Pelecehan dan kekerasan seksual masih menjadi momok di lingkungan kerja tanpa perlindungan yang efektif. Dan ketika mereka pulang, sistem patriarki menuntut mereka untuk terus bekerja mengurus rumah tangga—kerja-kerja yang tidak pernah diakui sebagai kerja,” imbuhnya.

Nasib buruh migran pun tak kalah tragis. Mereka dijuluki “pahlawan devisa”, namun dibiarkan sendiri menghadapi kekerasan, eksploitasi, bahkan kematian di luar negeri. Negara lebih sibuk menghitung devisa ketimbang melindungi keselamatan dan martabat mereka. Banyak yang menjadi korban perdagangan manusia, pemerkosaan, kekerasan psikis hingga bunuh diri, bahkan eksekusi mati oleh sistem hukum yang brutal dan rasis.

“Inilah potret objektif buram kehidupan buruh dan rakyat Indonesia hari ini. Selama sistem ini terus mempertahankan dominasi modal dan kekuasaan, selama hukum tak berpihak kepada mereka yang tertindas, maka May Day akan selalu menjadi hari perlawanan. Hari di mana buruh, petani, nelayan, miskin kota, mahasiswa, pelajar, dan perempuan bersatu untuk menuntut perubahan nyata,” pungkas Aris Budiono.

Adapun Tuntutan peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025:

Hentikan segala bentuk PHK—baik terselubung maupun terbuka!

1. Turunkan harga kebutuhan pokok, berantas mafia pangan dari akar-akarnya!

2. Hukum mati koruptor—biarkan rakyat menjadi hakim atas pengkhianat bangsa!

3. Naikkan upah seluruh pekerja informal, termasuk juru parkir, sesuai UMK Kota Madiun!

4. Tegakkan keadilan bagi buruh perempuan dan buruh migran—cukup sudah penderitaan mereka! (Sur).

Komentar