Lanjut Kapus Gondang, Stigma TBC sebagai penyakit kotor dan menular membuat penderitanya kurang terbuka kepada orang lain. Muncul keengganan untuk berobat, atau berobat secara sembunyi-sembunyi yang menyebabkan penanganan tidak optimal.
Jika pengobatan untuk penderita TBC biasa membutuhkan biaya sekitar Rp10 juta, hal ini jauh berbeda dengan pengobatan untuk TBC risisten obat (RO) yang membutuhkan biaya Rp100 juta lebih.
“Proses pengobatannya pun membutuhkan waktu yang berbeda. Jika TBC biasa membutuhkan waktu sekitar enam bulan, TBC RO membutuhkan waktu pengobatan satu tahun tanpa henti,” ungkap Siti.
“Penyakit TBC bisa disembuhkan jika pasien mau meminum obat secara rutin dan teratur,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut pihaknya telah membentuk kader di setiap desa, guna penemuan kasus baru, dan mengawasi pasien TBC yang sedang minum obat.
“Apabila kader menemukan suspek positif TBC, maka yang bersangkutan wajib mendampingi pasien melakukan pengobatan hingga sembuh,” kata Siti .
“Selain itu, kader ini juga bertugas melakukan investigasi kontak pasien. Juga membantu pemenuhan nutrisi bagi pasien TBC, dengan menggandeng pihak lain,” ujarnya.










Komentar